INILAH, Garut- Demam batu akik dalam beberapa bulan terakhir
melanda warga Kabupaten Garut. Fenomena demam batu akik juga melanda
pejabat Pemkab Garut, dan sejumlah anggota DPRD setempat.
Batu
akik yang menyita perhatian masyarakat Garut saat ini terutama asal
Garut sendiri yang lebih dikenal dengan sebutan batu Bungbulang,
khususnya jenis chrysoprase hijau dan pancawarna asal Kecamatan
Bungbulang, dan Caringin. Juga batu akik dari Kecamatan Singajaya.
Batu
chrysoprase dikenal penduduk lokal dengan nama batu Ohen atau topas,
dan batu pancawarna disebut batu Edong, sesuai nama warga penemu
masing-masing jenis batu akik tersebut.
Pada sebagian penyuka
batu akik kini ada kecenderungan memburu bahan mentah untuk diolah
menjadi hiasan di tukang mengolah batu akik yang terdapat di sejumlah
tempat daripada membeli batu sudah jadi dari sejumlah pedagang asongan
maupun yang mangkal di pusat kota.
Kalau beli dari pedagang yang
biasa asongan itu, takutnya bukan batu asli, tapi sintetis atau imitasi.
Kita yang awam kan sulit membedakannya. Tapi kalau kita beli bahan
bakunya, pasti asli. Meskipun kadang hasilnya belum tentu sesuai
harapan. Tapi itu jadi keasyikan tersendiri bagi saya. Tahu prosesnya.
Aslinya bagaimana, dan hasilnya seperti apa, kata Oki S (47), warga
Kelurahan Ciwalen Kecamatan Garut Kota yang mengaku mulai menggandrungi
batu akik ini.
Saking penasaran terhadap batu akik yang kini
banyak diperbincangkan, Oki mengaku mencoba menambah pengetahuan tentang
batu akik dengan menelusuri laman internet.
Harga batu-batu akik
bervariatif, mulai puluhan ribu, ratusan ribu hingga jutaan bahkan
puluhan dan ratusan juta rupiah. Mulai batu dalam bentuk kepingan bahan
mentah, setengah jadi, hingga sudah jadi untuk hiasan cincin, kalung,
gesper, maupun hiasan lainnya dalam berbagai ukuran.
Menurut
salah seorang penggemar batu akik Asep Sahrudin, keistimewaan batu akik
Bungbulang yakni kebeningan dan tingkat kekerasannya hampir mendekati
batu mulia seperti intan berlian, zamrud, dan ruby. Juga corak warnanya
sangat menarik.
Umumnya batu akik itu tingkat kekerasannya 4-5
Mohs. Sedangkan batu akik Garut hampir mendekati berlian, 7 Mohs. Dari
warnanya, batu chrysoprase atau batu Ohen yang hijau itu hijaunya
macam-macam. Juga batu Edong, meskipun pancawarna artinya lima warna,
tapi faktanya bisa sampai 15 warna, kata pejabat di Badan Narkotika
Nasional Kabupaten Garut itu.
Tidak diketahui pasti kapan dan apa
penyebab demam batu akik kini melanda sejumlah masyarakat Garut.
Sebagian menduga hal itu berkaitan dengan dicanangkannya penggunaan
pakaian adat khas Sunda di kalangan pegawai Pemkab Garut pada awal tahun
ini.
Sebagian lain menduga maraknya batu akik berkenaan dengan
kegiatan pameran batu mulai tingkat dunia yang digelar di luar negeri
beberapa waktu lalu.
Salah seorang pengusaha pemotongan batu akik
di Kampung Loji Desa Cimanganten Kecamatan Tarogong Kaler Encu (61)
mengaku sejak memasuki 2014 jumlah konsumennya membeludak mencapai
sekitar 40 hingga 50 orang per hari, dari sebelumnya sekitar 4 atau 5
orang per hari. Selain penduduk lokal Garut, mereka berasal dari luar
Garut, seperti Bandung, dan Jakarta.
Makanya setiap hari saya hanya buka dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore. Kalau enggak dibatasi bakal kewalahan, katanya.
Batu
yang paling digemari konsumen terutama jenis chrysophare atau topas,
dan pancawarna. Termasuk batu akik yang terdapat bentuk gambar tertentu.
Dalam
usaha pemotongan batu akik tersebut, Encu bekerja sama dengan pengusaha
lainnya dalam pemolesan batu pascapemotongan, serta pengusaha watang
atau kerangka cincin, dan penjual bahan batu akik di tempat yang sama.
Encu
yang menekuni pemotongan batu akik sejak 2000 lalu itu mengaku
penghasilannya kini meningkat cukup drastis dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya yang rata-rata memperoleh laba sekitar Rp200 ribu per hari.
Menurut
pengusaha batu akik Bungbulang asal Desa Sukarame Kecamatan Caringin
Iwan Setiawan, maraknya aktivitas perdagangan batu akik Bungbulang
terjadi sejak lama. Hanya demam batu akik tersebut di kalangan penduduk
lokal Garut terjadi belakangan ini.
Padahal batu Bungbulang sudah jauh lebih dulu dikenal masyarakat di luar Garut, bahkan luar negeri.
Lokasi
temuan batu akik sendiri antara lain sekitar aliran sungai, bukit,
kebun, bahkan lahan sawah. Batu-batu akik tersebut umumnya ditambang
secara tradisional.
Batu Bungbulang ini juga sebenarnya
dihasilkan di daerah Caringin. Hanya karena dulunya Kecamatan Caringin
itu masuk wilayah Kecamatan dan Kewedanaan Bungbulang, jadinya nama
Bungbulang yang lebih dikenal, kata pria yang akrab disapa Iwan Boxer.
Menurut
Iwan yang kini anggota DPRD Garut dari Fraksi Hati Nurani Rakyat
(Hanura) itu, harga batu akik tak ada patokan pasti, karena sangat
bergantung pada kecenderungan pasar atau minat konsumen.
Namun
umumnya, harga batu akik ditentukan kualitasnya, mulai kebeningan,
tingkat kekerasan, besar atau kecil, hingga corak warnanya. Juga cara
pemotongan dan pengolahannya.
Jadi, batu akik ini tak ada
pasaran, tapi pasarnya ada. Sehingga tak aneh keuntungan usaha jual beli
batu akik ini bisa berlipat ganda. Barangnya susah, tapi gampang
jualnya. Saya sendiri pernah beli bahan mentah Rp3 juta, dan setelah
diolah ternyata laku Rp200 juta. Tapi pernah juga beli bahan mentah
Rp300 juta, dan setelah diolah hanya laku Rp1 juta. Sebab ternyata bahan
yang bagusnya hanya menempel, kata Iwan.
Iwan mengaku sangat
menikmati dunia usaha batu akik yang dilakoninya sejak sepuluh tahun
lalu. Selain mendapatkan keuntungan materi, wawasan seputar perbatuan
dan relasi usaha pun kian bertambah. Bukan hanya relasi di dalam negeri
melainkan juga luar negeri.
Pameran batu mulai di sejumlah negara pun cukup sering diikutinya. Terutama di Taiwan, Korea, dan Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar