Kamis, 22 Januari 2015

Demam Batu Akik Bungbulang

Garut Dilanda Demam Batu Akik Bungbulang INILAH, Garut- Demam batu akik dalam beberapa bulan terakhir melanda warga Kabupaten    Garut. Fenomena demam batu akik juga melanda pejabat Pemkab Garut, dan sejumlah anggota DPRD setempat.

Batu akik yang menyita perhatian masyarakat Garut saat ini terutama asal Garut sendiri yang lebih dikenal dengan sebutan batu Bungbulang, khususnya jenis chrysoprase hijau dan pancawarna asal Kecamatan Bungbulang, dan Caringin. Juga batu akik dari Kecamatan Singajaya.

Batu chrysoprase dikenal penduduk lokal dengan nama batu Ohen atau topas, dan batu pancawarna disebut batu Edong, sesuai nama warga penemu masing-masing jenis batu akik tersebut.

Pada sebagian penyuka batu akik kini ada kecenderungan memburu bahan mentah untuk diolah menjadi hiasan di tukang mengolah batu akik yang terdapat di sejumlah tempat daripada membeli batu sudah jadi dari sejumlah pedagang asongan maupun yang mangkal di pusat kota.

Kalau beli dari pedagang yang biasa asongan itu, takutnya bukan batu asli, tapi sintetis atau imitasi. Kita yang awam kan sulit membedakannya. Tapi kalau kita beli bahan bakunya, pasti asli. Meskipun kadang hasilnya belum tentu sesuai harapan. Tapi itu jadi keasyikan tersendiri bagi saya. Tahu prosesnya. Aslinya bagaimana, dan hasilnya seperti apa, kata Oki S (47), warga Kelurahan Ciwalen Kecamatan Garut Kota yang mengaku mulai menggandrungi batu akik ini.

Saking penasaran terhadap batu akik yang kini banyak diperbincangkan, Oki mengaku mencoba menambah pengetahuan tentang batu akik dengan menelusuri laman internet.

Harga batu-batu akik bervariatif, mulai puluhan ribu, ratusan ribu hingga jutaan bahkan puluhan dan ratusan juta rupiah. Mulai batu dalam bentuk kepingan bahan mentah, setengah jadi, hingga sudah jadi untuk hiasan cincin, kalung, gesper, maupun hiasan lainnya dalam berbagai ukuran.

Menurut salah seorang penggemar batu akik Asep Sahrudin, keistimewaan batu akik Bungbulang yakni kebeningan dan tingkat kekerasannya hampir mendekati batu mulia seperti intan berlian, zamrud, dan ruby. Juga corak warnanya sangat menarik.

Umumnya batu akik itu tingkat kekerasannya 4-5 Mohs. Sedangkan batu akik Garut hampir mendekati berlian, 7 Mohs. Dari warnanya, batu chrysoprase atau batu Ohen yang hijau itu hijaunya macam-macam. Juga batu Edong, meskipun pancawarna artinya lima warna, tapi faktanya bisa sampai 15 warna, kata pejabat di Badan Narkotika Nasional Kabupaten Garut itu.

Tidak diketahui pasti kapan dan apa penyebab demam batu akik kini melanda sejumlah masyarakat Garut. Sebagian menduga hal itu berkaitan dengan dicanangkannya penggunaan pakaian adat khas Sunda di kalangan pegawai Pemkab Garut pada awal tahun ini.

Sebagian lain menduga maraknya batu akik berkenaan dengan kegiatan pameran batu mulai tingkat dunia yang digelar di luar negeri beberapa waktu lalu.

Salah seorang pengusaha pemotongan batu akik di Kampung Loji Desa Cimanganten Kecamatan Tarogong Kaler Encu (61) mengaku sejak memasuki 2014 jumlah konsumennya membeludak mencapai sekitar 40 hingga 50 orang per hari, dari sebelumnya sekitar 4 atau 5 orang per hari. Selain penduduk lokal Garut, mereka berasal dari luar Garut, seperti Bandung, dan Jakarta.

Makanya setiap hari saya hanya buka dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore. Kalau enggak dibatasi bakal kewalahan, katanya.

Batu yang paling digemari konsumen terutama jenis chrysophare atau topas, dan pancawarna. Termasuk batu akik yang terdapat bentuk gambar tertentu.

Dalam usaha pemotongan batu akik tersebut, Encu bekerja sama dengan pengusaha lainnya dalam pemolesan batu pascapemotongan, serta pengusaha watang atau kerangka cincin, dan penjual bahan batu akik di tempat yang sama.

Encu yang menekuni pemotongan batu akik sejak 2000 lalu itu mengaku penghasilannya kini meningkat cukup drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata memperoleh laba sekitar Rp200 ribu per hari.

Menurut pengusaha batu akik Bungbulang asal Desa Sukarame Kecamatan Caringin Iwan Setiawan, maraknya aktivitas perdagangan batu akik Bungbulang terjadi sejak lama. Hanya demam batu akik tersebut di kalangan penduduk lokal Garut terjadi belakangan ini.

Padahal batu Bungbulang sudah jauh lebih dulu dikenal masyarakat di luar Garut, bahkan luar negeri.

Lokasi temuan batu akik sendiri antara lain sekitar aliran sungai, bukit, kebun, bahkan lahan sawah. Batu-batu akik tersebut umumnya ditambang secara tradisional.

Batu Bungbulang ini juga sebenarnya dihasilkan di daerah Caringin. Hanya karena dulunya Kecamatan Caringin itu masuk wilayah Kecamatan dan Kewedanaan Bungbulang, jadinya nama Bungbulang yang lebih dikenal, kata pria yang akrab disapa Iwan Boxer.

Menurut Iwan yang kini anggota DPRD Garut dari Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura) itu, harga batu akik tak ada patokan pasti, karena sangat bergantung pada kecenderungan pasar atau minat konsumen.

Namun umumnya, harga batu akik ditentukan kualitasnya, mulai kebeningan, tingkat kekerasan, besar atau kecil, hingga corak warnanya. Juga cara pemotongan dan pengolahannya.

Jadi, batu akik ini tak ada pasaran, tapi pasarnya ada. Sehingga tak aneh keuntungan usaha jual beli batu akik ini bisa berlipat ganda. Barangnya susah, tapi gampang jualnya. Saya sendiri pernah beli bahan mentah Rp3 juta, dan setelah diolah ternyata laku Rp200 juta. Tapi pernah juga beli bahan mentah Rp300 juta, dan setelah diolah hanya laku Rp1 juta. Sebab ternyata bahan yang bagusnya hanya menempel, kata Iwan.

Iwan mengaku sangat menikmati dunia usaha batu akik yang dilakoninya sejak sepuluh tahun lalu. Selain mendapatkan keuntungan materi, wawasan seputar perbatuan dan relasi usaha pun kian bertambah. Bukan hanya relasi di dalam negeri melainkan juga luar negeri.

Pameran batu mulai di sejumlah negara pun cukup sering diikutinya. Terutama di Taiwan, Korea, dan Amerika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar